Seribu pasang tangan
mungkin sejuta
(aku sering terpaksa membaca riwayat
dari perawi yang tidak pernah tepat)
melambaikan bendera hitam
bendera hitam dari jalan-jalan
dari rumah-rumah
dari hati dan jiwa yang sudah lelah
satu protes kepada sebuah sejarah
sejarah tanah air yang dijarah pemerintah.
Hitam pekat tinta dari lumpur tanah
bau hamis seperti darah
masinnya seperti peluh dan air mata
bergayung-gayung tumpah
desir bendera ditiup angin,
bunyinya mirip esak-esak tangis,
sesekali terdengar raungan menghiris
atau mungkinkah itu sayup-sayup herdikan polis?
Kepala tanah air apakah itu
yang berebut negeri dengan rakyatnya
rakyat tanah air manakah itu
yang merelakan negeri direntap dari bawah kakinya
kepala tanah air zaman bilakah itu
yang mencuri negeri dari rakyatnya
dibahagi-bahagikan sesama mereka
sambil menghantar perawi-perawi dusta
rakyat tanah air bagaimanakah itu
yang menelan bohong-bohong dengan wajah suka
sementara bendera-bendera hitam terus berkibar
bertingkah dengan angin memainkan lagu perjuangan.
Kalau tanah air itu masih punya nyawa
maka akan diperjuangkanlah.
Kalau tanah air itu sudah mati asa
(seperti jasad yang dibunuh oleh kepala-kepalanya
rela menjadi hantu penanggal kerana tamak kuasa)
maka biarkan ia dikuburkanlah
bendera-bendera hitam sebagai kafan
ramai-ramai rakyat menyanyikan dendang ratapan
nyanyian selamat tinggal penuh harmoni
untuk keadilan dalam sebuah tanah air yang sudah mati.
-th 17f, 6.38 a.m.-
Wednesday, May 06, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
erm. kecewa dgn isu apa ni?
atau dengan segala2nya?.
Post a Comment