Wednesday, January 27, 2010

Redemption I

Salam.

I have a paper to write, and I'm pretty unwell - but plenty of things has been bugging my mind, and perhaps, just perhaps, it would be fair to allot a bit of space and a bit of time to let a bit of it out.

Very important persons for me have left this land - for good, or so it seems. A person as close to a brother for me as is possible for an unrelated male, and his wife who has shared hugs, laughs, tears and detangled confusions with me. The departure party at the airport was more or less emotional, with tears being shed and last words said, but I have done all my crying earlier, hence the composure then.

Plenty of things has happened around. People around me have underwent sufferings, wrestled with difficult decisions, faced the tough (cruel?) facts of life, and moved on.

I was shamed to think that small things would upset me - perhaps a bit too much. Taken in context, relative to the trials faced by others around me, near and far, those that I knew of and didn't, I was further embarrassed.

Ungrateful would be one who enjoys so much fortune and comfort, yet moans when things get out of hand, when perceptions fail to be made sense of. Nevertheless, moan one did.

"I know I shouldn't, but there were times when I would fall into self-pity.."
"Then just don't."

Plain, sharp, and truthfully simple.

As he had said, this is adulthood for me - when things don't always go the way I would have liked it, when things are not easy, when I'm forced to give up external control and make up for it with internal control, which is so much more difficult, but will ultimately be rewarding.

I am rambling.

I should go get to my paper-work - before health gave way again, and hordes of painkillers would be summoned for support.


***

The following section is the reason why I wrote this entry in the first place.

My conscience is troubling me. I am not used to be so hard, to be - cruel, somehow.

I felt you're trying to reach out to me. I felt that you're trying to achieve some sort of 'normalcy', some kind of 'equilibrium' back.

Don't.

I never hated you and never would be. I used to trust you with my life, and I still do, and would still do.

There is nothing to redeem between us. I will never apologize to you, and you don't need to do so, because there is nothing to forgive.

You have asked me to walk away, and that is what exactly I am doing, in my own way. Don't make it more difficult than this. I would like to remember only the best memories, let us not tarnish it even further by stretching an exhausted rope - lest it snaps and hits either or both of us on the face. I am not important anymore - perhaps never have been, or soon will not be. Whichever way, don't attempt to deceive either of us that it is otherwise. I am too proud to accept taking things by parts, by halves, not from someone so important to me.

In a way, I would rather have nothing.

It could have been a mistake earlier on when I tried so hard to salvage what was left. Perhaps I should have let everything die and wither off on their own then.

I hope that if I must recall, if I must remember, it will be only the good memories.

I never hated you and never would be. I used to trust you with my life, and I still do, and would still do.

I just can't bear the sight of you and remembering the promise you've broken - a promise you shouldn't have ever made anyway.

I don't know if the person intended will read what I wrote.

***


meow.



Monday, January 25, 2010

Berlari ke..?

Salam.

Cetusan untuk menulis entri ini sudah hadir dalam tiga minggu yang lepas - sewaktu menunggu kenderaan untuk pulang ke Manchester. Namun kepenatan mental dan fizikal pada ketika itu, dan kesibukan yang menyusul sesudahnya menjadi alasan yang baik untuk terus bertangguh-tangguh.

Imbas kembali - lokasi di lapangan terbang Malaga, Sepanyol. Waktu sekitar jam 2.10, kami berempat beratur menunggu boarding pass diperiksa dan dibenarkan masuk ke dalam pesawat. Saya paling hadapan, menghulur kertas bercetak maklumat peribadi dan penerbangan kepada pegawai di kaunter. Wajahnya sedikit berubah.

"You'll need to run."

Saya menelan air liur. Malapetaka apa pula ni?

Pandangannya menyeluruhi boarding pass saya, dan mengulang sekali lagi bahawa saya perlu segera berlari - ke mana dan mengapa, saya belum pasti. Cuba bertenang. Tentu ada salah faham, tidak mungkin kami perlu berlari ke mana-mana sedangkan jadual berlepas pesawat adalah kurang sepuluh minit lagi!

Tanpa menjelaskan masalah kami, dia melihat boarding pass Teh, Madihah dan Shahirah.

"You all will need to run."

(Goodness me what the heck, just tell us what's the problem already!!)

Rupa-rupanya, kami lupa mendapatkan pengesahan pasport di kaunter RyanAir. Tak ada cop yang sepatutnya ada. Kami cuba menjelaskan bahawa kami sudah melepasi kaunter imigresen, namun tiada gunanya - biar langit runtuhpun, boarding pass kami itu mesti mendapat cop barulah dibenarkan terbang.

"You'll really need to run. Go back across the main departure hall to the RyanAir office. Run, you only have seven minutes."


O shooot. Shoooooot.

"Seven minutes?" Shahirah berpusing dan terus berlari, seiring dengan Teh dan Madihah. Bukan senang jalan yang bakal kami tempuh - perlu menongkah arus berpatah balik meredah kaunter imigresen dan sekuriti, di mana beg-beg semuanya diimbas di bawah mesin, entah akan lepas atau tidak, dan.. TUJUH MINIT.

I hate running. If there's one thing I really, really couldn't bear, it's running to chase something. I almost never run to catch a bus - I'd rather wait.

Saya cuba berlari, dengan sebelah tangan menarik bagasi beroda, dan beg sandang bergayut di bahu. Namun hanya beberapa tapak, seluruh otot dan sendi memprotes. Tali beg sandang terbelit-belit dan tersangkut-sangkut, beg terlambung-lambung melanggar kaki. Lantas saya lucutkan beg dari sandangan, talinya dilipat-lipat dan dipegang dengan tangan yang sama menarik bagasi beroda. Cuba berlari lagi - namun - hanya beberapa tapak.

Saya tidak larat.

I hate running. Running to chase something, that is. I don't like to run, I don't like to chase. Being already tired to the bone after six days in Spain preceded by loads of work and never getting to slow down didn't help.

Shahirah, Teh dan Madihah sudah laju ke depan. Dengan beg yang digalas dan ditarik, mereka berlari, berkejar ke kaunter RyanAir, mengejar waktu dan pesawat yang bakal berlepas, mengejar waktu sebelum dipintas oleh minit ketujuh.

Saya - jauh di belakang, tidak sanggup berlari lagi, mental dan fizikal yang mengongoi tidak berdaya, sesekali cuba berlari, namun hanya setapak dua sebelum kembali menjadi langkah-langkah cepat yang dipaksa, mengheret kaki sambil menahan sakit dan sesak dalam dada. Merempuh kaunter imigresen dan barisan sekuriti - bukan senang untuk bergerak melawan arus, it's supposed to be a one-way traffic - mujurlah ada pegawai yang memahami dan membenarkan saya (kami) lalu.

Dalam kepala, saya mencongak-congak. Apakah yang paling teruk akan berlaku? Perlu beli tiket kapal terbang baru. Berapa? 100 euro? Mungkin. Saya teringat peristiwa terlepas penerbangan pada awal tahun 2008. Sekitar GBP80 perlu dibelanjakan untuk satu tiket yang baru. Sanggupkah saya berbelanja 100 euro - mungkin lebih - hanya kerana tidak mampu berlari lagi?

Sahabat saya yang bertiga mungkin sudah sampai ke dalam kabin. Saya termengah-mengah mengheret kaki, selaju mungkin, selepas berjaya melepasi sekuriti dengan memotong barisan dan mengimbas beg sepintas lalu. Hampir menangis memberitahu pegawai yang pada mulanya berkeras memaksa saya beratur di belakang orang lain.

"I am going to miss my flight!!!!" Tak faham-faham ke haaah??

Walaupun tidak sanggup berlari, harapan masih tidak saya lepaskan sepenuhnya. Masih mahu mengejar walaupun minit ketujuh sudah lama memintas, sudah sampai ke garisan penamat. Masih belum mahu berputus asa, masih ada doa di celah-celah nafas yang putus-putus mencungap, masih ada gesa-gesa dalam langkah laju yang berat - walaupun kalau diikutkan hati, saya sudah 80% yakin yang pesawat sudah meninggalkan saya, sudah mahu bersandar di dinding melepaskan lelah sambil mengesat air mata yang mungkin gugur.

Di kaunter sekuriti, saya terserempak dengan pegawai yang mula-mula menyuruh kami berlari tadi. Dia sudah meninggalkan posisinya - tentu tugasnya sudah selesai.

"Quick, you need to run, or you'll miss the flight!"

Harapankah itu? Pesawat masih belum berlepaskah?

Kaki sudah tidak sanggup berlari. Apa nak jadi pun, jadilah. Namun ada laju yang sedikit bertambah dalam setiap hayunan langkah. Koridor ke arah gerbang berlepas dirasakan begitu panjang.

Masih ada pegawai lain yang bertugas di hadapan laluan terowong yang menuju ke arah pintu pesawat. Dia tersenyum lebar melihat saya yang mencungap, langkah seperti banduan yang cuba berlari dengan bola besi membelenggu kaki. Allah, masih sempatkah rupa-rupanya?

Ketika kaki saya menapak - selaju yang mampu, ditampungi saki-baki tenaga fizikal dan mental yang benar-benar tinggal hanya sisa terakhir - melalui terowong besi ke arah pintu pesawat, dan melihat tiga sahabat saya berdiri di sana menunggu saya, dada menjadi terlalu sebal sampai tidak mampu merasai apa-apa, hanya syukur, syukur, syukur.

I was overwhelmed - mentally, physically, spiritually. Allah, alhamdulillah..'ala kulli haal, alhamdulillah...

Boarding pass
diserahkan kepada pramugar(i/a?) yang menanti di muka pintu, lantas bergerak bersama sahabat-sahabat mencari tempat duduk, saya tidak mampu mengucapkan apa-apa, dada seperti mahu pecah, rengkung digesel kertas pasir, perut bergelodak mahu muntah, air mata di belakang empangan minta mahu menyembur keluar, syukur atas belas kasihan Allah, terharu dengan kesetiaan sahabat yang menanti...saya terduduk di atas kerusi, mengatur semula nafas dan composure.

Saya tidak suka berlari. Mengejar. Mengharap benar-benar. Kompetitif itu bukanlah sifat saya - mungkin beberapa tahun dulu, ya, tapi sekarang, tidak lagi. Apa yang saya pertandingkan, yang saya menangi, sejak kebelakangan ini, semuanya dilakukan atas dasar tanggungjawab. Dustalah kalau saya mendakwa tidak suka, atau benci kepada pertandingan - pilihanraya pimpinan pelajar, ranking akademik di universiti - namun sesungguhnya, kemahuan untuk menang, untuk ke hadapan itu tidak sekuat dulu. Saya sudah puas, mungkin penat - bertanding, berebut dan berlumba.

Penat juga apabila yang dikejar tidak tercapai - daripada menanggung kecewa apabila bas yang dikejar menutup pintunya dan bertolak sejurus selepas saya termengah-mengah sampai ke tepi tayar belakang, lebih baik tidak perlu kejar, kalau terlepas tunggu saja bas yang lain!

Mengapa dalam hidup ini, kerap benar saya perlu 'berlari' mengejar sesuatu yang saya tidak pasti? Saya ingin hanya bergerak mengikut keselesaan saya sendiri. Laju atau perlahan, what matters is going at my own pace. Saya tidak suka bergerak laju kerana dipaksa atau mengikut rentak orang. Bergerak perlahan kerana dilambatkan oleh orang juga amat-amat mengganggu.

Sewaktu kecil saya sering ke mana-mana seorang diri - contohnya ke tandas, ke kantin atau ke pusat sumber sewaktu rehat - kerana begitu canggung mengajak orang lain bergerak dengan kelajuan saya, atau bergerak mengikut rentak orang lain. Sesudah mengenal usia dewasa, bersiar-siar atau pergi membeli-belah itu aktiviti yang lebih suka dilakukan seorang diri - kerana alasan yang sama.

Mengikut rentak orang lain atau 'memaksa' orang lain mengikut rentak saya itu bukanlah sesuatu yang saya selesa, apatah lagi suka, lakukan - kecuali, mungkin, jika bersama-sama orang yang paling rapat, orang yang saya sayang, orang yang penting bagi saya. Kasih dan tanggungjawab mampu menyebabkan insan menerima apa sahaja - malah jengkel dapat berubah, mulanya hanya rela, kemudian menjadi suka.

Saya ingin hanya bergerak mengikut keselesaan saya sendiri. Laju atau perlahan, what matters is going at my own pace.

Tapi hidup tidak begitu, bukan.

Ada waktu-waktunya saya perlu berlari. Terpaksa berlari. Mengejar dan mengharap, sedang dalam waktu yang sama, menanti. Baik dalam urusan kerja, akademik, mahupun urusan-urusan lain yang lebih sulit dan rumit. Risiko itu mendidik hati untuk tawakkal, untuk bergantung dengan Allah dan menerima segala ketentuan. Berlarilah, setidak-tidaknya akan sampai juga ke garisan penamat - bezanya hanya cepat atau lambat. Jangan hanya menyeret kaki berjalan, kelak terlalu lambat.

Jangan takut untuk tampak kalah, kerana Allah mengira setiap peluh yang menitik dan air mata yang tumpah.

Bukankah insan yang terlalu angkuh untuk berlari, terlalu pengecut untuk tewas dalam perlumbaan, sebenarnya kurang tegar berpaut dengan Tuhan - dan akhirnya akan kandas hanya di garisan permulaan?

"I'm afraid, you'll have to run. You only have...."

"...before the plane of life took off without you."


meow.



Wednesday, January 13, 2010

Cinta dan Pengasingan

Salam.

Tulisan kali ini bukanlah asli - tetapi terjemahan daripada karangan Tariq Ramadan, dipetik dari laman web rasmi beliau.

Mengapa mau disalin semula dalam bahasa ibunda? Apabila membacanya, minda ini tidak lepas-lepas menuturkan semula ayat-ayat yang dibaca dalam bahasa Melayu, dan kedengarannya ia begitu indah jika diterjemah.Artikel asal ada di sini .

Terima kasih kepada kakak yang memasang 'tag' Facebook yang memautkan profil saya dengan artikel ini.

***

Setiap kali peristiwa kerohanian cuba dihuraikan, cinta akan disebut dengan sifat-sifatnya yang pelbagai - dua wajahnya yang berbeza, gambarannya yang sukar difahami. Cinta adalah sekolah yang memperkenalkan kita dengan kehidupan. Di dalamnya, kita belajar untuk maju ke hadapan, untuk bangkit mengatasi halangan-halangan dalam diri, dan kemudiannya untuk mencapai kebebasan - namun ia juga boleh menjadi sebuah penjara, di mana kita dibelenggu oleh rantai yang berlapis-lapis.Kita tenggelam, sesat, dan akhirnya benar-benar terikat.

Setiap ajaran kerohanian, falsafah dan agama bersetuju tentang ini, dan menawarkan kebenaran yang serupa: setelah tenggelam dalam cinta, seseorang itu akan menemui kembali apa yang pernah dicari-carinya di situ, kerana cinta adalah cermin, adalah juga perkhabaran.

Lantaran dirinya terumbang-ambing oleh hanyutan emosi dan kemahuannya untuk memiliki, cinta manusia akan sentiasa menyeksa dirinya sendiri, dirundung oleh perasaan tidak puas dan hati yang terbelenggu. Namun apabila manusia itu menguasai rohaninya, cintanya akan membawanya keluar daripada sangkar diri, mengizinkannya mencapai kepuasan dan penyerahan.

Maka cinta itu sebenarnya umpama satu proses pendidikan. Kita belajar untuk akur, mengikut, dan kemudiannya mengasingkan diri, perlahan-lahan kian sedar akan kekaburan realiti serta pentingnya keseimbangan, yang sememangnya payah untuk dicapai, rapuh apabila dipegang. Mengenal diri, mencintai diri seadanya, belajar untuk mencintai dengan lebih baik, untuk memberi, untuk menyerahkan diri dan memaafkan adalah proses seumur hidup yang tidak pernah lengkap, tidak pernah tamat, dan sentiasa menuntut pembaharuan.

Mencintai tanpa keterikatan, mencintai tanpa menjadi objek tempat pergantungan orang, memerlukan manusia membentuk kemampuan mentafsir yang tajam, memperkasakan peribadi dengan keberanian dan nilai yang tinggi atas kewujudan dirinya. Mencintai kehidupan dan menyaksikannya berlalu perlahan-lahan, mencintai diri sendiri tanpa melayan sebarang kepura-puraan atau fantasi, mencintai orang-orang yang disayangi dengan mengetahui bahawa waktu akan membawa mereka pergi, mencintai tanpa memuja, dan mencintai dengan kesedaran bahawa hakikat kewujudan ini tidak tuntas, tidak jelas, bahkan seringkali hanyalah relatif, bayangan dan bandingan.

Inilah pengertian mendalam kepada cinta yang penuh belas kasihan, yang mengikut ajaran Buddha, akan membawa insan kepada kebebasan. Dalam agama-agama samawi, keesaan Tuhan membawa pengertian yang sama dalamnya. Kemerdekaan mesti dicari, bebas daripada khayalan sendiri, daripada menyembah nafsu dan berhala-berhala dalam jiwa, jika mau mencapai cinta yang jernih, cinta yang mendatangkan kefahaman, sementara kita mau mencapai satu kehampiran spiritual sehingga mampu melihat jarak dalam perkiraan yang mutlak. Inilah pengalaman sufi yang cuba disampaikan oleh al-Jilani (kurun 11-12) dan Rumi (kurun 13), sepertimana pengalaman kerohanian dan kesufian yang lain. Tulisan Gibran, Prophet, menyimpulkan bagaimana cinta kepada Kesempurnaan dan/atau Tuhan membawa manusia meninggalkan dirinya sendiri. Katanya, "Jika kamu mencintai, kamu tidak sepatutnya mengucapkan 'Tuhan berada di dalam hatiku' bahkan sepatutnya, 'Aku berada di dalam hati Tuhan'"

Mencintai tanpa keterikatan. Tiada satu cita-cita pun yang boleh menjadi lebih payah untuk dicapai, dan untuk sampai ke situ menuntut latihan yang lama, sukar, dan adakalanya menyakitkan. Matlamatnya adalah untuk mencintai tanpa sebarang ilusi, angan-angan atau tanggapan dusta. Semua itu menjadi lebih payah lantaran kita kadang-kala menyamakan mencintai dengan keterpedayaan. Bagaimana kita boleh melangkah daripada ilusi cinta kepada kejernihan cinta? Bagaimana mampu untuk mengasingkan diri daripada sesuatu yang sesungguhnya terikat dengan kita?

Gibran dalam karyanya Prophet turut menyebut: "Cinta tidak pernah memiliki, dan tidak pula dimiliki", namun apakah pula nasib mereka yang telah dimiliki, dirasuk cinta, wanita dan lelaki yang dibutakan oleh cinta dan dirantai oleh belenggu?

Bagaimana dapat kita menggapai di luar sangkar diri, untuk bersatu dengan Kesempurnaan, atau Cahaya Yang Satu? Cinta sesungguhnya menjanjikan kebaikan, keindahan dan kesejahteraan, tetapi janji itu sentiasa datang dengan limpahan air mata, penderitaan dan kesakitan. Kehidupan adalah kesengsaraan; kehidupan adalah kecintaan ... kecintaan adalah kesengsaraan. Dan jika kita ingin hidup, mestikah kita mencintai kesengsaraan ini sehingga tibanya mati?

'Cinta' yang mengatasi cinta adalah cinta yang memerdekakan. Ia mendatangkan kepuasan dan kesediaan menghadapi apa saja kemungkinan. Lantas haruslah kita mendidik kesedaran dan hati, untuk mencintai dalam satu-satu waktu sambil mengakui akan perjalanan masa, untuk berada di sini dan mengetahui bahawa apabila tiba ketikanya kita akan pergi. Untuk mencintai sambil belajar untuk beredar: cinta yang paling murni tidak pernah lupa akan perpisahan, dan tidak sekali-kali ia lupa tentang kematian.

Cinta dan maut adalah padanan yang paling manusiawi: cinta manusia yang paling dalam cuba untuk menyisihkan sebarang ilusi tentang maut yang pasti menjelang. Kerapuhan itu adalah kekuatannya. Kekuatan hati yang tawaduk tersembunyi di sudut kesedaran itu - dalam cinta - tentang maut.

Kembali ke permulaan. Kitab-kitab suci, riwayat-riwayat purba dan falsafah setiap zaman mengajak kita untuk melihat dan belajar daripada Alam, keindahan dan kitarannya, daripada yang fana dan yang abadi. Kita tahu bahawa mencintai itu adalah fitrah yang hadir semula jadi, tetapi kita diajar cara bercinta yang lebih agung, mencintai secara sedar dan spiritual, serta memahami pengertian dalam pengasingan. Kita perlu memilih antara Kant yang terkekang dan Nietzche yang terburu-buru, antara jalan yang dipilih Buddha atau Dionysius, antara cinta Tuhan dan cinta Nafsu. Antara kebebasan dan melayan keperluan, antara kemerdekaan dan keterikatan, antara pengasingan dan percantuman.

Seseorang itu tidak mampu memilih untuk mencintai atau tidak, tetapi boleh memilih bagaimana caranya untuk mencintai. Alam menjadi cermin, bilamana menghadapnya wajah kita mesti diangkat, lantas mata merenung ruang-ruang yang jauh dan dekat, sementara mengetahui bahawa walaupun sekarang kita wujud sepenuhnya di sini, bumi tetap akan memberi ruang kepada orang lain setelah ketiadaan kita.

Ruang dan waktu yang terbentang luas seperti cermin membayangkannya, diri yang merdeka memahaminya, dan Yang Satu mengulang-ulangnya: untuk mencintai adalah untuk berada di sini, hampir kepada keluarbiasaan di dalam kebiasaan, untuk menawarkan, memberi dan memaafkan. Mencintai adalah untuk mendamaikan antara keberadaan yang kaku dengan perjalanan yang mundar-mandir, akar banir yang teguh dengan angin yang kencang.

Mencintai adalah menerima dan belajar untuk melepaskan. Mencintai adalah memberi dan belajar untuk pergi. Dan sebaliknya.

meow~